SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM
Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia,
yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.
Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti
budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktrur
masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun
mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan
hilang kemandirian. Saat bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi
atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan: “Sesungguhnya
yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang
bangsawan mencuri kamu biarkan dia dan apabila yang mencuri itu rakyat
jelata mereka tegakkan hukum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah
anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”
Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk — lebih dari satu dua kali — berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak.
Setiap kali para shahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai “orang rumah”. Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.”Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang yang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku.” “Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina,” demikian pesannya.
Di sela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau di
panglimai shahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat
mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima
delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling
khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa
antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah.
Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti
adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan
pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya
kepada mereka: “Jangan. Biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui
terkagum. Ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan
Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan senyum
ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain
dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia
terima undangan mereka; yang merdeka, budak laki-laki atau budak
perempuan, serta kamu miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit di ujung
Madinah. Ia terima permohonan ma’af orang.
Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat, ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada
seorang shalih mau mengawalku malam ini.” Dengan kesadaran dan cinta,
beberapa shahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara
gaduh yang mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber suara.
Ternyata Ia telah ada di sana mendahului mereka, tagak di atas kuda
tanpa pelana. “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa
keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri,
tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.
Ummul Mukminin Aisyah Ra. Berkata : “Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang dimakan makhluk
hidup, selain setengah ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk
harga 30 gantang gandum.”
Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat seerhana dan
pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya berkata,”Ya Allah, jadikanlah
ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.” Pada kemenangan besar
saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia
menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu
mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.
Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun
beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya
atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya: “Semua nabi
mendapatkan hak untuk mengangkat do’a yang takkan ditolak dan aku
menyimpannya untuk ummatku kelak di padang Mahsyar nanti.”
Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga
bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak,
“Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan dari sulbi mereka kelak akan
menerima da’wah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran juwanya. Pertama,
Allah, Sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks
menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala
resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat yang membenci, dan
khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan
akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang,
diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.
Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan
cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan
ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan
para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan dengan
begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”
Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih !
[ Oleh Almarhum KH. Rahmat Abdullah ]
Allohumma sholli wa sallim wa baarik ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa ash habihi ajma’ien.
mohon izin mas, copy paste ke blog ane yah. Jazakallohu khoir