Me, at JP Morgan Chase CC
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tgl 23 April 2008, aku ikutan acara “JP Morgan Chase”. Itu loh, event charity di singapore yang diadakan oleh JP Morgan. Event ini ada di beberapa negara. Tapi kayaknya di indonesia nggak ada. Tapi kok bisa ikutan sih ? ya, yang namanya di bayarin ama kantor, kenapa tidak. Maklum, lumayan mahal, SGD $ 45. hm…. mahal kan. Kalo dirupiahin, kira-kira berapa yah ??? Hikhik.
Tapi sebenarnya bukan masalah duit, soalnya event ini adalah event amal. So, pemasukan dari pendaftaran akan disumbangkan melalui JP Morgan sepertinya. Tapi kenapa kok sampe ikutan ? padahal di indonesia, nggak pernah tuh ikutan event lari kayak gini. Maklum, selain badminton, nggak ada olahraga lain. Ada beberapa alasan, yang pertama, pengen nguji fisik, apa bener kuat lari sampe 6.7 KM ???. Yang ke dua, ya, sekalian cuci mata lah… hikhikhik….
So, hasilnya, ????????????????? Not bad i think. 6.7 Km di tempuh dalam waktu 45 menit dan 20 detik. Hm….. kayaknya kalo lintasannya agak lebar dikit dan bisa mendahului dengan mudah, pasti catatan waktunya akan jauh lebih baik. Maklum dah telat start 15 menit lebih.. Wong datangnya telat, yah dapat paling buncit startnya…. But Alhamdulillah, ternyata masih diberi kekuatan. Dan sepertinya, akan jadi event tetap mingguan nih. lari pagi di kawasan taman kota singapore, hehehehe….
Bagi rekan-rekan kerja dulu, pasti ndak asing ama kaos yang di pakai, hikhikhik… Itu tuh, yang bikin hemat……. Ya, terima kasih banyak ama kantorku dulu.
Ternyata banyak yang bisa dilakukan kalo kita semangat… Ayooooooo tetap semangat, meski sendirian di negeri orang, hehehehe
Aku cinta kamu, karena…….
Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, seorang suami hendak menceraikan isterinya.Pesona kecantikan isterinya telah meredup sehingga ghairah cinta kepadanya pun mulai memudar. Umar memberikan nasehat, “Sungguh jelek niatmu. Apakah sebuah rumah tangga hanya dapat terbina dengan cinta? Di mana takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai pasangan suami isteri, telah saling bercampur dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat?”
Nasehat Umar bin Khattab di atas menegaskan suatu fondasi yang harus dibangun dalam bangunan pernikahan, yaitu cinta kepada Allah bukan cinta kepada hawa nafsu. Sebab cinta kepada Allah akan melahirkan takwa, yang menjadikannya hati-hati mengarungi samudera kehidupan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Cinta kepada Allah melahirkan rasa malu, yaitu malu berbuat maksiat kepada Allah dan malu akan keegoan diri. Dan cinta kepada Allah menjadikan seseorang selalu teringat dan terikat untuk memenuhi janjinya kepada Allah, salah satunya yaitu memperlakukan isteri sesuai dengan hukum Allah sebagai konsekuensi diperbolehkan mencampurinya secara halal.
Sedangkan cinta kepada hawa nafsu akan menghilangkan ruh dari bangunan pernikahan. Kenikmatan pernikahan hanya akan tercipta sepanjang terpenuhinya kebutuhan hawa nafsu, yang secara sunatullah, akan mengalami puncak pemenuhannya kemudian berangsur menurun dan menurun hingga ke titik nadhir dan mengalami kebosanan. Jika hawa nafsu tidak menemukan pemenuhannya, maka ia akan mencari “jalan lain” dengan perselingkuhan. Atau cerai dan nikah lagi, demikian seterusnya. Dan selamanya, tuntutan hawa nafsu itu tidak akan terpuaskan hingga ia berpisah dari jasadnya.
Cinta kepada Allah-lah yang menjaga rumah tangga menjadi rumah tangga yang produktif. Ibarat pohon, ia adalah pohon dengan akar yang kokoh menghujam, cabangnya menjulang ke langit, dan buahnya lezat dan terus berbuah sepanjang musim. Dikatakan bahwa bangunan pernikahan itu adalah setengah dien, sebab dengan membangun rumah tangga maka produktifitas amal kebaikan bisa ditumbuh-suburkan dan ditingkatkan. Rumah tangga adalah sarana untuk menyempurnakan keimanan kepada Allah dan jalan untuk menanam kebaikan di dunia dan mendulang pahala untuk kehidupan akhirat.
Dengan dasar cinta kepada Allah, maka jalan keluar atas permasalahan yang melilit pun diurai dalam bingkai keimanan. Ia tidak menjadi masalah yang ruwet karena dengan keimanan jiwa-jiwa akan menjadi lapang dan tidak terjebak oleh dorongan hawa nafsu yang selalu memprovokasi kepada keretakan rumah tangga.
Ada kisah menarik yang menjadi cerminan saya. Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kisah ini.
Seseorang bermaksud menghadap Umar bin khattab hendak mengadukan perangai buruk isterinya. Sesampai di pintu rumahnya, ia mendengar isteri Umar mengomeli Umar sang khalifah itu, sementara Umar sendiri hanya berdiam saja tanpa memberikan reaksi apa-apa. Di depan pintu rumah Umar itu, ia bergumam, “Kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan aku?” Ia pun beranjak pergi. Namun bersamaan dengan itu Umar keluar. Umar pun memanggilnya, “Ada keperluan penting?”
Ia menjawab, “Ya Amirul Mukminin, kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal isteriku lantaran suka memarahiku. Tetapi begitu mendengar isterimu sendiri berbuat seperti itu, maka aku bermaksud kembali. Dalam hati aku berkata, kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan diriku.”
Umar berkata, “Saudaraku, sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari isteriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Ia selalu bertindak sebagai juru masak makananku. Ia selalu membuatkan roti untukku. Ia selalu mencuci pakaian-pakaianku. Ia menyusui anak-anakku. Padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tenteram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan isteriku, karena itu aku menerima sekalipun dimarahi.”
Orang itu berkata, “Amirul Mukminin, demikian pulakah terhadap isteriku?” Jawab Umar, “Ya, terimalah marahnya karena yang dilakukan isterimu tidak akan lama, hanya sebentar saja.”
Kita sangat patut bercermin kepada Sahabat Umar —termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga—dalam menyikapi kehidupan berumah tangga.
Kini, betapa sering kita menyaksikan bangunan pernikahan yang retak hanya karena masing-masing merasa tidak dihargai, dibenci, dan dimarah-marahi. Terlebih jika seorang suami yang dimarah-marahi, pasti ia akan merasa harga dirinya menjadi rendah, malu, dan kemudian terdorong hatinya untuk pindah ke lain hati. Bukankah tidak sulit seorang laki-laki untuk melakukan hal itu?
Tetapi yang dilakukan Umar, seorang Amirul Mukminin kuat, keras pendirian, dan banyak ditakuti oleh musuh (termasuk oleh syaitan) itu —tidaklah demikian. Beliau sangat memahami konsekuensi dari perjanjian yang kuat (mistsaqan ghalidzan) itu. Beliau pun menyadari akan kebaikan-kebaikan yang dilakukan isterinya dan mengedepankan kebaikan-kebaikan itu di atas kelemahan-kelemahan yang beliau miliki.
Alangkah baiknya, demi melanggengkan bahtera pernikahan, seorang suami selalu mengingati kebaikan-kebaikan isterinya. Tanpa kebaikan seorang isteri, bisa jadi nafkah yang diberikan setiap bulan oleh seorang suami rasanya tidak akan pernah cukup. Seorang suami harus menggaji orang untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga anak-anak, dan pekerjaan lainnya. Seorang suami juga harus menyediakan fasilitas rumah, pakaian, makanan, dan kebutuhan lain dari isteri secara layak dan memadai. Pendek kata, tugas isteri adalah berhias dan melayani kita dengan sebaik-baiknya, yang lain (terutama mencari nafkah untuk optimalisasi tugas isteri tersebut) adalah tugas dan tanggungjawab suami.
Jika seorang suami merasa belum bisa mencukupi kebutuhan isteri, lebih-lebih sang isteri harus membanting tulang membantu suami mencari nafkah, maka selayaknya ia harus berkaca dari kelemahannya itu demi menumbuhkan penghargaan terhadap sang isteri. Tentu saja, sang isteri juga harus memahami bahwa dengan posisi lebihnya itu ia tidak bisa memaki seenak hati. Ia tetap dianjurkan taat kepada suami demi mendapatkan keridhaannya.
Aku cinta kamu, karena aku cinta kepada Allah. Semoga cinta kita atas dasar iman. Amin…
[Tulisan ini dikutip dari : eramuslim.com ]
Fatwa Dr. Yusuf Qordhowi Tentang Halalnya 0.5% Alkohol
Fatwa tentang kehalalan alkohol 0.5% dari ulama terkenal Dr. Yusuf Qordhowi cukup mendapat respon dari masyarakat. Ada yang sedikit bingung, ada yang bertanya-tanya, ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana sebenarnya pandangan islam sendiri tentang alkohol dan khamar ? Samakah antara keduanya, ataukah memang ada perbedaan yang cukup signifikan. Berikut petikan konsultasi yang di ambil dari http://www.eramuslim.com, mengenai hal ini.
———————————————————————————–
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.
Ustadz, Bagaimana tanggapan ustadz tentang fatwa Dr.Yusuf Qordhowi tentang halalnya minuman beralkohol yang berkadar 0.5%? Apa landasan beliau? Bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa minuman yang memabukan baik sedikit atau banyak tetap haram.
Terima kasih atas jawabannya.
NK
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya Syeikh Al-Qaradawi bukan menghalalkan khamar. Yang beliau sebutkan adalah kadar maksimal Alkohol yang masih bisa ditolelir dalam suatu obat atau makanan. Dan tidak ada yang salah dalam masalah ini.
Bahkan LPPOM MUI malah lebih longgar ketika memberikan batasan, mereka menyebut kadar nilai 2%, jauh lebih banyak dari yang disebutkan oleh Al-Qaradawi.
Bukankah Banyak dan Sedikit Tetap Haram?
Benar sekali bahwa banyak atau sedikit tetap haram, tetapi kita harus perhatikan dulu, yang disebut banyak atau sedikit itu apanya?
Bukan kadar Alkohol tapi khamar. Khamar itu mau diminum cuma setetes atau mau ditenggak seember, sama-sama haram. Tapi Alkohol tidak sama atau tidak identik dengan khamar. Inilah titik masalahnya.
Kita bisa katakan bahwa Alkohol adalah senyawa kimia, sedangkan Khamar adalah karakter suatu bahan makanan, minuman atau benda yang dikonsumsi.
Definisi khamar tidak terletak pada susunab kimianya, tapi definisinyaterletak pada efek yang dihasilkannya, yaitu al-iskar (memabukkan). Maka benda apa pun yang kalau dimakan atau diminum akan memberikan efek mabuk, dikategorikan sebagai khamar.
Maka definisi khamar yang benar menurut para ulama adalah’segala yang memberikan efek iskar (memabukkan)’. Dan definisinya bukanlah ‘semua makanan yang mengandung Alkohol’.
Sebab menurut para ahli, secara alami beberapa makanan kita seperti besar, singkong, duren dan buah lainnya malah mengandung Alkohol. Namun kita tidak pernah menyebut bahwa berat itu haram karena mengandung Alkohol.
Dan karena definisinya segala benda yang memberikan efek iskar, maka ganja, opium, drug, mariyuana dan sejenisnya, tetap bisa dimasukkan sebagai khamar. Padahal benda itu malah tidak mengandung Alkohol.
Daun ganja kering yang dilinting seperti rokok, rasanya tidak mengandung Alkohol, tapi dia tetap dikatakan sebagai khamar. Karena daun itu memabukkan kalau dihisap asapnya.
Senyawa Alkohol sendiri kalau kita minum, bukan efek al-iskar (mabuk) yang dihasilkan, melainkan efek al-mautu.
Al-Mautu? Apa itu?
Al-mautu artiya kematian. Coba saja minum alkohol 70% yang kita beli di Apotek, tidak usah banyak-banyak, segelas saja, insya Allah langsung innalillahi.
Dalam dalam kadar yang kecil dan sedikit, Alkohol aman bagi tubuh dan juga tidak memberi efek al-iskar, juga tidak memberi efek al-mautu. Karena itu banyak ulama dan lembaga pengawas makanan yang membolehkan khamar dengan kadar tertentu, terutama untuk larutan obat.
Dan karena Alkohol tidak identik dengan khamar, maka bila jumlahnya sedikit masih bisa ditolelir.
Lalu Bagaimana Mengukur Al-Iskar?
Kepolisian biasanya memang mengukur apakah seseorang mabuk atau tidak, mengunakan kadar Alkohol dalam darah. Padahal dalam syariah Islam, cara pengukuran seperti itu tidak pernah dilakukan.
Sebab fenomena al-iskar itu mudah sekali diketahui, sama saja dengan menyebutkan beda orang yang tidurdengan yang tidak tidur. Tidak perlu diukur dengan beragam pengukuran hingga sampai REM segala.
Pokoknya anak kecil juga tahu membedakan, mana tidur dan mana melek. Sederhana sekali karena syariah Islam itu memang sederhana saja.
Kalau mau tahu apakah sebuah minuman bersoda itu sudah termasuk khamar atau bukan, suruh saja kucing atau kelinci meminumnya. Kita lihat efeknya, kalau hewan itu jalannya sempoyongan lantaran teler nenggak minuman itu, nah ketahuan deh bahwa minuan itu khamar. Maka otomatis kita sebut minuman itu khamar, meski tidak ada alkoholnya.
Tapi kucing atau kelincinya harus yang sehat wal afiat, jangan kucing yang kerjaannya mabok juga. Yang begitu sih tidak bisa dijadikan ukuran. Habis, tiap hari kerjaannya nenggak bir, AO, mansion, vodka, topi miring, dan sejenisnya. Kucingnya harus kucing yang belum pernah mabok sebelumnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
[Dikutip dari eramuslim.com : Link asli disini ]
Film “Ayat-Ayat Cinta” Itu…
Film “Ayat-Ayat Cinta” jadi fenomena baru euy di jagat industri film nasional. Gimana nggak, film tersebut ditonton sekitar 3 juta orang hanya dalam waktu kurang dari sebulan. Kalo diukur dari prestasi minat penonton, mungkin saja itu angka statistik yang bisa dibanggakan. Meski demikian, pro-kontra terhadap film tersebut juga marak. Terutama dalam diskusi-diskusi di internet.
Redaksi
Boys and gals, ada satu adegan yang dipotong di film tersebut yang beda jauh alias bertolak-belakang dengan cerita di novelnya. Demi mengedepankan sisi toleransi, Hanung memang mencoba menghilangkan beberapa adegan yang sekiranya memicu polemik. “Adegan seperti wartawan Amerika bernama Alice dan Maria seorang Kristen Koptik yang akhirnya masuk Islam, itu saya hilangkan, karena saya tidak ingin film ini men-judge orang untuk masuk Islam,” katanya (SINDO, 23 Maret 2008)
Jangan menutupi kebenaran Islam, apalagi sampe menyimpangkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah demi mendapat respon positif dan atas nama dakwah yang katanya secara damai itu. Padahal sejatinya bukan tak mungkin malah menikam Islam itu sendiri karena penyampaiannya yang keliru.
Komentar Tamuku