Archive

Archive for April, 2008

Me, at JP Morgan Chase CC

April 26, 2008 Leave a comment

DSCN8536Beberapa hari yang lalu, tepatnya tgl 23 April 2008, aku ikutan acara “JP Morgan Chase”. Itu loh, event charity di singapore yang diadakan oleh JP Morgan. Event ini ada di beberapa negara. Tapi kayaknya di indonesia nggak ada. Tapi kok bisa ikutan sih ? ya, yang namanya di bayarin ama kantor, kenapa tidak. Maklum, lumayan mahal, SGD $ 45. hm…. mahal kan. Kalo dirupiahin, kira-kira berapa yah ??? Hikhik.

Tapi sebenarnya bukan masalah duit, soalnya event ini adalah event amal. So, pemasukan dari pendaftaran akan disumbangkan melalui JP Morgan sepertinya. Tapi kenapa kok sampe ikutan ? padahal di indonesia, nggak pernah tuh ikutan event lari kayak gini. Maklum, selain badminton, nggak ada olahraga lain. Ada beberapa alasan, yang pertama, pengen nguji fisik, apa bener kuat lari sampe 6.7 KM ???. Yang ke dua, ya, sekalian cuci mata lah… hikhikhik….

So, hasilnya, ????????????????? Not bad i think. 6.7 Km di tempuh dalam waktu 45 menit dan 20 detik. Hm….. kayaknya kalo lintasannya agak lebar dikit dan bisa mendahului dengan mudah, pasti catatan waktunya akan jauh lebih baik. Maklum dah telat start 15 menit lebih.. Wong datangnya telat, yah dapat paling buncit startnya…. But Alhamdulillah, ternyata masih diberi kekuatan. Dan sepertinya, akan jadi event tetap mingguan nih. lari pagi di kawasan taman kota singapore, hehehehe….

Bagi rekan-rekan kerja dulu, pasti ndak asing ama kaos yang di pakai, hikhikhik… Itu tuh, yang bikin hemat……. Ya, terima kasih banyak ama kantorku dulu.

Ternyata banyak yang bisa dilakukan kalo kita semangat… Ayooooooo tetap semangat, meski sendirian di negeri orang, hehehehe

Aku cinta kamu, karena…….

April 19, 2008 1 comment

Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, seorang suami hendak menceraikan isterinya.Pesona kecantikan isterinya telah meredup sehingga ghairah cinta kepadanya pun mulai memudar. Umar memberikan nasehat, “Sungguh jelek niatmu. Apakah sebuah rumah tangga hanya dapat terbina dengan cinta? Di mana takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai pasangan suami isteri, telah saling bercampur dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat?”

Nasehat Umar bin Khattab di atas menegaskan suatu fondasi yang harus dibangun dalam bangunan pernikahan, yaitu cinta kepada Allah bukan cinta kepada hawa nafsu. Sebab cinta kepada Allah akan melahirkan takwa, yang menjadikannya hati-hati mengarungi samudera kehidupan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Cinta kepada Allah melahirkan rasa malu, yaitu malu berbuat maksiat kepada Allah dan malu akan keegoan diri. Dan cinta kepada Allah menjadikan seseorang selalu teringat dan terikat untuk memenuhi janjinya kepada Allah, salah satunya yaitu memperlakukan isteri sesuai dengan hukum Allah sebagai konsekuensi diperbolehkan mencampurinya secara halal.

Sedangkan cinta kepada hawa nafsu akan menghilangkan ruh dari bangunan pernikahan. Kenikmatan pernikahan hanya akan tercipta sepanjang terpenuhinya kebutuhan hawa nafsu, yang secara sunatullah, akan mengalami puncak pemenuhannya kemudian berangsur menurun dan menurun hingga ke titik nadhir dan mengalami kebosanan. Jika hawa nafsu tidak menemukan pemenuhannya, maka ia akan mencari “jalan lain” dengan perselingkuhan. Atau cerai dan nikah lagi, demikian seterusnya. Dan selamanya, tuntutan hawa nafsu itu tidak akan terpuaskan hingga ia berpisah dari jasadnya.

Cinta kepada Allah-lah yang menjaga rumah tangga menjadi rumah tangga yang produktif. Ibarat pohon, ia adalah pohon dengan akar yang kokoh menghujam, cabangnya menjulang ke langit, dan buahnya lezat dan terus berbuah sepanjang musim. Dikatakan bahwa bangunan pernikahan itu adalah setengah dien, sebab dengan membangun rumah tangga maka produktifitas amal kebaikan bisa ditumbuh-suburkan dan ditingkatkan. Rumah tangga adalah sarana untuk menyempurnakan keimanan kepada Allah dan jalan untuk menanam kebaikan di dunia dan mendulang pahala untuk kehidupan akhirat.

Dengan dasar cinta kepada Allah, maka jalan keluar atas permasalahan yang melilit pun diurai dalam bingkai keimanan. Ia tidak menjadi masalah yang ruwet karena dengan keimanan jiwa-jiwa akan menjadi lapang dan tidak terjebak oleh dorongan hawa nafsu yang selalu memprovokasi kepada keretakan rumah tangga.

Ada kisah menarik yang menjadi cerminan saya. Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kisah ini.

Seseorang bermaksud menghadap Umar bin khattab hendak mengadukan perangai buruk isterinya. Sesampai di pintu rumahnya, ia mendengar isteri Umar mengomeli Umar sang khalifah itu, sementara Umar sendiri hanya berdiam saja tanpa memberikan reaksi apa-apa. Di depan pintu rumah Umar itu, ia bergumam, “Kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan aku?” Ia pun beranjak pergi. Namun bersamaan dengan itu Umar keluar. Umar pun memanggilnya, “Ada keperluan penting?”

Ia menjawab, “Ya Amirul Mukminin, kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal isteriku lantaran suka memarahiku. Tetapi begitu mendengar isterimu sendiri berbuat seperti itu, maka aku bermaksud kembali. Dalam hati aku berkata, kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan diriku.”

Umar berkata, “Saudaraku, sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari isteriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Ia selalu bertindak sebagai juru masak makananku. Ia selalu membuatkan roti untukku. Ia selalu mencuci pakaian-pakaianku. Ia menyusui anak-anakku. Padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tenteram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan isteriku, karena itu aku menerima sekalipun dimarahi.”

Orang itu berkata, “Amirul Mukminin, demikian pulakah terhadap isteriku?” Jawab Umar, “Ya, terimalah marahnya karena yang dilakukan isterimu tidak akan lama, hanya sebentar saja.”

Kita sangat patut bercermin kepada Sahabat Umar —termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga—dalam menyikapi kehidupan berumah tangga.

Kini, betapa sering kita menyaksikan bangunan pernikahan yang retak hanya karena masing-masing merasa tidak dihargai, dibenci, dan dimarah-marahi. Terlebih jika seorang suami yang dimarah-marahi, pasti ia akan merasa harga dirinya menjadi rendah, malu, dan kemudian terdorong hatinya untuk pindah ke lain hati. Bukankah tidak sulit seorang laki-laki untuk melakukan hal itu?

Tetapi yang dilakukan Umar, seorang Amirul Mukminin kuat, keras pendirian, dan banyak ditakuti oleh musuh (termasuk oleh syaitan) itu —tidaklah demikian. Beliau sangat memahami konsekuensi dari perjanjian yang kuat (mistsaqan ghalidzan) itu. Beliau pun menyadari akan kebaikan-kebaikan yang dilakukan isterinya dan mengedepankan kebaikan-kebaikan itu di atas kelemahan-kelemahan yang beliau miliki.

Alangkah baiknya, demi melanggengkan bahtera pernikahan, seorang suami selalu mengingati kebaikan-kebaikan isterinya. Tanpa kebaikan seorang isteri, bisa jadi nafkah yang diberikan setiap bulan oleh seorang suami rasanya tidak akan pernah cukup. Seorang suami harus menggaji orang untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga anak-anak, dan pekerjaan lainnya. Seorang suami juga harus menyediakan fasilitas rumah, pakaian, makanan, dan kebutuhan lain dari isteri secara layak dan memadai. Pendek kata, tugas isteri adalah berhias dan melayani kita dengan sebaik-baiknya, yang lain (terutama mencari nafkah untuk optimalisasi tugas isteri tersebut) adalah tugas dan tanggungjawab suami.

Jika seorang suami merasa belum bisa mencukupi kebutuhan isteri, lebih-lebih sang isteri harus membanting tulang membantu suami mencari nafkah, maka selayaknya ia harus berkaca dari kelemahannya itu demi menumbuhkan penghargaan terhadap sang isteri. Tentu saja, sang isteri juga harus memahami bahwa dengan posisi lebihnya itu ia tidak bisa memaki seenak hati. Ia tetap dianjurkan taat kepada suami demi mendapatkan keridhaannya.

Aku cinta kamu, karena aku cinta kepada Allah. Semoga cinta kita atas dasar iman. Amin…

[Tulisan ini dikutip dari : eramuslim.com ]

Categories: Islam, Keluarga, Renungan

Fatwa Dr. Yusuf Qordhowi Tentang Halalnya 0.5% Alkohol

April 13, 2008 1 comment

Fatwa tentang kehalalan alkohol 0.5% dari ulama terkenal Dr. Yusuf Qordhowi cukup mendapat respon dari masyarakat. Ada yang sedikit bingung, ada yang bertanya-tanya, ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana sebenarnya pandangan islam sendiri tentang alkohol dan khamar ? Samakah antara keduanya, ataukah memang ada perbedaan yang cukup signifikan. Berikut petikan konsultasi yang di ambil dari http://www.eramuslim.com, mengenai hal ini.

———————————————————————————–

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.

Ustadz, Bagaimana tanggapan ustadz tentang fatwa Dr.Yusuf Qordhowi tentang halalnya minuman beralkohol yang berkadar 0.5%? Apa landasan beliau? Bukankah ada hadits yang menyebutkan bahwa minuman yang memabukan baik sedikit atau banyak tetap haram.

Terima kasih atas jawabannya.

NK

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya Syeikh Al-Qaradawi bukan menghalalkan khamar. Yang beliau sebutkan adalah kadar maksimal Alkohol yang masih bisa ditolelir dalam suatu obat atau makanan. Dan tidak ada yang salah dalam masalah ini.

Bahkan LPPOM MUI malah lebih longgar ketika memberikan batasan, mereka menyebut kadar nilai 2%, jauh lebih banyak dari yang disebutkan oleh Al-Qaradawi.

Bukankah Banyak dan Sedikit Tetap Haram?

Benar sekali bahwa banyak atau sedikit tetap haram, tetapi kita harus perhatikan dulu, yang disebut banyak atau sedikit itu apanya?

Bukan kadar Alkohol tapi khamar. Khamar itu mau diminum cuma setetes atau mau ditenggak seember, sama-sama haram. Tapi Alkohol tidak sama atau tidak identik dengan khamar. Inilah titik masalahnya.

Kita bisa katakan bahwa Alkohol adalah senyawa kimia, sedangkan Khamar adalah karakter suatu bahan makanan, minuman atau benda yang dikonsumsi.

Definisi khamar tidak terletak pada susunab kimianya, tapi definisinyaterletak pada efek yang dihasilkannya, yaitu al-iskar (memabukkan). Maka benda apa pun yang kalau dimakan atau diminum akan memberikan efek mabuk, dikategorikan sebagai khamar.

Maka definisi khamar yang benar menurut para ulama adalah’segala yang memberikan efek iskar (memabukkan)’. Dan definisinya bukanlah ‘semua makanan yang mengandung Alkohol’.

Sebab menurut para ahli, secara alami beberapa makanan kita seperti besar, singkong, duren dan buah lainnya malah mengandung Alkohol. Namun kita tidak pernah menyebut bahwa berat itu haram karena mengandung Alkohol.

Dan karena definisinya segala benda yang memberikan efek iskar, maka ganja, opium, drug, mariyuana dan sejenisnya, tetap bisa dimasukkan sebagai khamar. Padahal benda itu malah tidak mengandung Alkohol.

Daun ganja kering yang dilinting seperti rokok, rasanya tidak mengandung Alkohol, tapi dia tetap dikatakan sebagai khamar. Karena daun itu memabukkan kalau dihisap asapnya.

Senyawa Alkohol sendiri kalau kita minum, bukan efek al-iskar (mabuk) yang dihasilkan, melainkan efek al-mautu.

Al-Mautu? Apa itu?

Al-mautu artiya kematian. Coba saja minum alkohol 70% yang kita beli di Apotek, tidak usah banyak-banyak, segelas saja, insya Allah langsung innalillahi.

Dalam dalam kadar yang kecil dan sedikit, Alkohol aman bagi tubuh dan juga tidak memberi efek al-iskar, juga tidak memberi efek al-mautu. Karena itu banyak ulama dan lembaga pengawas makanan yang membolehkan khamar dengan kadar tertentu, terutama untuk larutan obat.

Dan karena Alkohol tidak identik dengan khamar, maka bila jumlahnya sedikit masih bisa ditolelir.

Lalu Bagaimana Mengukur Al-Iskar?

Kepolisian biasanya memang mengukur apakah seseorang mabuk atau tidak, mengunakan kadar Alkohol dalam darah. Padahal dalam syariah Islam, cara pengukuran seperti itu tidak pernah dilakukan.

Sebab fenomena al-iskar itu mudah sekali diketahui, sama saja dengan menyebutkan beda orang yang tidurdengan yang tidak tidur. Tidak perlu diukur dengan beragam pengukuran hingga sampai REM segala.

Pokoknya anak kecil juga tahu membedakan, mana tidur dan mana melek. Sederhana sekali karena syariah Islam itu memang sederhana saja.

Kalau mau tahu apakah sebuah minuman bersoda itu sudah termasuk khamar atau bukan, suruh saja kucing atau kelinci meminumnya. Kita lihat efeknya, kalau hewan itu jalannya sempoyongan lantaran teler nenggak minuman itu, nah ketahuan deh bahwa minuan itu khamar. Maka otomatis kita sebut minuman itu khamar, meski tidak ada alkoholnya.

Tapi kucing atau kelincinya harus yang sehat wal afiat, jangan kucing yang kerjaannya mabok juga. Yang begitu sih tidak bisa dijadikan ukuran. Habis, tiap hari kerjaannya nenggak bir, AO, mansion, vodka, topi miring, dan sejenisnya. Kucingnya harus kucing yang belum pernah mabok sebelumnya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

[Dikutip dari eramuslim.com : Link asli disini ]

Categories: Fiqh Islam, Islam, Pendidikan

Film “Ayat-Ayat Cinta” Itu…

April 10, 2008 Leave a comment
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Film “Ayat-Ayat Cinta” jadi fenomena baru euy di jagat industri film nasional. Gimana nggak, film tersebut ditonton sekitar 3 juta orang hanya dalam waktu kurang dari sebulan. Kalo diukur dari prestasi minat penonton, mungkin saja itu angka statistik yang bisa dibanggakan. Meski demikian, pro-kontra terhadap film tersebut juga marak. Terutama dalam diskusi-diskusi di internet.
Ada yang protes karena isinya beda ama di novel, ada pula yang ngamuk-ngamuk di blog pribadinya gara-gara ada bagian yang tampaknya dihilangkan agar tak memicu polemik agama, ada juga yang melihatnya dari sisi fikih. Meski begitu, ada juga bagian film itu yang benar. Misalnya menolak pacaran, menyampaikan syariat poligami, menyampaikan kasih-sayang sesama manusia, membudayakan sabar dan ikhlas. Bagus juga sih. Meski demikian, kita tetap harus jeli, karena ajaran Islam tentu nggak sesederhana itu. Jika tujuannya menyampaikan dakwah dan mencerdaskan kaum muslimin, seharusnya bisa berani menyampaikan Islam apa adanya semuanya tanpa ditutup-tutupi demi menjaga toleransi. Tul nggak?
Boys and gals, sekadar ikut meramaikan diskusi yang sudah marak sebelumnya di internet, gaulislam sengaja angkat tema ini untuk membahas dari sisi lain yang jarang dibahas oleh mereka yang pro maupun kontra (ciee pede banget!). Semoga semangat cinta Islam bisa dilanjutkan dengan belajar Islam, bukan sebatas nonton film islami aja. Setuju kan? So, baca aja edisi 023 ini.
Salam,
Redaksi
———–
Kayaknya bagi kamu yang stay tune mantengin berita seputar fenomena film Ayat-Ayat Cinta bakalan ngeh dengan kehebohan film tersebut. Maklum, banyak media nasional seperti kompakan menurunkan berita seputar kesuksesan film tersebut bagi industri film nasional. Bahkan, Wapres Jusuf Kalla aja sampe bela-belain nonton film Ayat-Ayat Cinta di bioskop membaur dengan penonton umum lainnya. Waduh, jarang-jarang nih ada film nasional yang sampe ditonton sama petinggi negara di bioskop.
Sekadar informasi aja, setelah dirilis resmi pada 28 Februari 2008 lalu, film garapan rumah produksi MD Pictures ini berhasil menorehkan sejarah sebagai film paling laris sepanjang masa. Baru empat hari diputar, Ayat-Ayat Cinta sudah membukukan jumlah 700.000 penonton. Jumlah penonton terus bertambah hingga tembus angka 2,9 juta hanya tiga minggu setelah beredar. Kini dapat dipastikan jumlah penonton sudah lebih dari tiga juta orang (SINDO, 23 Maret 2008).
Oya, angka itu hanya dihitung dari penonton yang nonton di bioskop, belum lagi yang nonton via VCD/DVD bajakan yang beredar luas. Kayaknya bisa lebih banyak lagi tuh. Wis, pokoke pol banget dah. Film yang diangkat dari novel karya Kang Abik, sapaan akrab Habiburrahman el-Shirazy ini memang diprediksi bakalan sukses. Maklum, bukunya aja udah tercetak sekitar 400.000 eksemplar. Belum lagi kalo dihitung dengan buku bajakannya bisa-bisa lebih dari itu. Maklum, para pembajak tahu betul buku (termasuk film) apa saja yang lagi laris di pasaran. Hehehe…
Meski demikian, sukses film Ayat-Ayat Cinta ini rupanya diiringi juga dengan pro-kontra. Banyak yang mendukung, tapi nggak sedikit pula yang protes keras. Mulai dari isi cerita di film beda jauh dengan isi di novelnya, bahkan ada perbedaan yang sangat fatal seperti tidak ditampilkannya di film padahal itu termasuk bagian penting dari isi novel.
Sebagian blogger yang memprotes film tersebut bahkan mempertanyakan masalah fikih (syariat) dalam film itu. Misalnya, boleh nggak sih adegan Fedi Nuril ama Rianti Cartwright di film itu? Gimana pun juga kan mereka bukan mahram. Belum lagi ada kesalahan penyebutan definisi ahlu dzimah yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya nggak tahu apa kutipan itu ada di bukunya juga apa nggak, jadi nggak bisa bedain. Tapi yang jelas dialog di film tersebut yang menyampaikan suatu istilah dengan keliru harus segera diluruskan.
Oya, film tersebut emang nggak semuanya memuat kesalahan, ada juga yang benarnya kok. Seperti syariat poligami, aturan ta’aruf, tentang sabar dan ikhlas, tapi semua itu jadi hambar gara-gara ada beberapa bagian yang terpenting malah dihilangan dalam film.
Memang sih, Hanung Bramantyo sebagai sutradara ngasih komen dengan maraknya protes terhadap karyanya tersebut, khususnya yang membandingkan dengan isi novelnya, “Harus dipisahkan antara novel dengan film, keduanya merupakan medium yang berbeda.” (SINDO, 23 Maret 2008)
Oke deh, terlepas dari pro dan kontra terhadap film Ayat-Ayat Cinta dari perbedaan antara isi cerita di novel dan film, tapi Ayat-Ayat Cinta juga perlu dikritisi. Terutama dari sisi penyampaian pesan Islam dan media penyampaian pesannya. Sebab, orang udah kadung ikutan heboh dengan tema “cinta” yang diusung dan “konflik emosi” yang bertaburan di film tersebut, jadi kurang kritis. So, tanpa maksud bikin suasana tambah ‘runyam’, akhirnya gaulislam ikut ngebahas dari sisi lain agar menjadi perhatian kaum muslimin untuk bisa menempatkan persoalan dengan benar.
Tak berani suarakan Islam
Boys and gals, ada satu adegan yang dipotong di film tersebut yang beda jauh alias bertolak-belakang dengan cerita di novelnya. Demi mengedepankan sisi toleransi, Hanung memang mencoba menghilangkan beberapa adegan yang sekiranya memicu polemik. “Adegan seperti wartawan Amerika bernama Alice dan Maria seorang Kristen Koptik yang akhirnya masuk Islam, itu saya hilangkan, karena saya tidak ingin film ini men-judge orang untuk masuk Islam,” katanya (SINDO, 23 Maret 2008)
Lha. Piye iki? Untuk kasus ini, selain mengecewakan bin mengkhianati para pembaca novel tersebut, juga film ini menjadi kendaraan untuk membohongi publik. Bukan hanya karena beda dengan cerita di novelnya, tapi makna toleransi pun udah salah kaprah. Seharusnya kita berpikir, bahwa saat ini orang nggak mudah (meski ada juga yang gampang terpengaruh) untuk percaya begitu saja dengan isi film, jadi kekhawatiran akan menimbulkan polemik jutsru berlebihan. Sebab, sejatinya polemik itu bisa saja terjadi. Bandingkan dengan buku dan film The Da Vinci Code yang konon kabarnya bisa mengguncang iman kaum kristiani karena isinya yang bisa menggoyahkan keyakinan akidah mereka. Tapi, show must be go on. Pembaca dan penonton yang akan menilainya langsung. Bisa pro bisa juga kontra. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan bukan? Tapi kalo belum apa-apa sudah tidak berani menyuarakan kebenaran Islam, apa yang mau dibanggakan?
Prestasi penonton yang mencapai 3 juta orang lebih tak berarti apa-apa—kecuali keuntungan secara materi dan ketenaran—jika isinya meracuni keyakinan dan akidah kaum muslimin itu sendiri. Itulah kenapa kita sangat menyayangkan isi film ini. Saya juga nggak tahu kenapa penulis novelnya mau saja ceritanya diubah ketika difilmkan. Apa pun alasannya, menurut saya, dalam pandangan ajaran Islam, hal itu adalah sebuah kelalaian yang bisa berakibat fatal bagi pemahaman kaum muslimin. Allahu’alam.
Bandingkan dengan film-film Hollywood yang seringkali menyisipkan dialog yang menyudutkan Islam seperti di film Die Hard 4.0, Shooter, Eraser dan lainnya yang secara terang-terangan berani menyebut kaum muslimin sebagai teroris. Pertanyaannya, mengapa kita nggak berani menyampaikan kebenaran itu? Mengapa adegan penting seperti masuk Islamnya dua tokoh dalam film tersebut dihilangkan dengan alasan toleransi? Sekadar mengingatkan bahwa toleransi tidaklah berarti mengakui kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas bermasyarakat. Trus, toleransi juga bukan berarti kompromi atau bersifat sinkretisme dalam keyakinan dan ibadah. Oya, sinkretisme adalah menyamakan bahwa semua agama tuh benar. Padahal, kita tak boleh sama sekali ngikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apapun (Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A., Kuliah Akhlaq, hlm 210)
Lagian sikap kita udah jelas kok seperti yang udah diajarin Allah Swt. dalam firmanNya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS al-Kaafiruun [109]: 6)
So, menurut saya, justru dengan menghilangkan adegan penting masuk Islamnya Maria dan Alice di film itu sudah tidak menghargai karya penulis novelnya, juga seluruh kaum muslimin karena hak mereka untuk mendapatkan informasi yang benar dan pemahaman yang shahih ‘dirampok’ oleh pembuat film tersebut.
Belum lagi adegan di sebuah kendaraan umum yang menggambarkan dialog antara Fahri dengan seorang penumpang yang ngotot tidak membolehkan orang kafir Amerika untuk diberikan tempat duduk. Fahri digambarkan menyampaikan pernyataan tentang ahlu dzimah tetapi keliru dan bukan pada tempatnya. Pada dialog itu disebutkan:“Orang asing yang masuk ke dalam sebuah negara secara sah berarti ia seorang ahlu dzimah yang harus dilindungi keselamatan dan kehormatannya.”
Padahal yang dimaksud ahlu dzimah (kafir dzimmy) adalah orang non-Muslim yang menjadi warga negara, yang hidup bersama mereka (kaum Muslim) di Negara Islam (Daulah Khilafah, pen.), membayar jizyah dan taat kepada hukum-hukum Islam, kecuali yang menyangkut praktik hukum yang diakui untuk mereka, seperti hukum-hukum tentang akidah, ibadah, nikah, talak, makanan (minum) dan pakaian. (Imam asy-Syafi’i, al-Umm, juz IV, hlm. 213—dikutip pada buku Jihad dan Perang, jilid I, karya Dr. Muhammad Khair Haekal, hlm. 218)
Sabda Rasulullah saw.:”Barangsiapa yang membunuh seorang (kafir) yang sedang terikat perjanjian (mu’ahadah) yang telah mendapat perlindungan dari Allah dan RasulNya (dzimmiy), maka ia telah melanggar perlindungan Allah—yakni mengkhianati perjanjian—dan dia tidak akan mencium baunya surga, meskipun bau surga itu tercium dari jarak sejauh perjalanan yang lamanya 40 musim gugur.”
Selain itu Ali bin Abi Thalib ra pernah mengatakan, “Sesungguhnya, hanya dengan membayar jizyah, maka harta mereka berstatus sama seperti harta kita dan darah mereka sama seperti darah kita.”(Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, hlm. 211)
Persoalannya, Mesir–yang menjadi setting tempat dalam novel dan film itu–bukan negara Islam. Mesir tuh negara sekular, sama dengan Indonesia dan negeri Islam lainnya karena udah menerapkan sistem Kapitalisme- Demokrasi dari Barat. Lagian, sampai saat ini, sejak keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 3 Maret 1924 belum berdiri lagi Khilafah Islamiyah (Negara Islam), jadi penyebutan istilah ahlu dzimmah di film tersebut jelas keliru banget dan nggak pada tempatnya.
Oya, ini bukan kritikan, tapi masukan tanda peduli dan cinta kepada kaum muslimin. Jangan sampe isi film ini kemudian mempengaruhi dengan mudah–meski saya akui tak mudah orang untuk terpengaruh begitu saja. Apalagi jika isinya ternyata mengaburkan pemahaman Islam itu sendiri. Jangan sampe kemudian film ini dijadikan senjata untuk melemahkan pemahaman kaum muslimin secara perlahan-lahan. Masih mending dituduh teroris sehingga masih bisa berontak dan menolak. Lha, kalo ‘dibodohi’, sulit orang bisa berontak kecuali mereka yang sadar dan mengedepankan pemahaman, bukan perasaan belaka.
Saatnya kampanyekan Islam apa adanya
Jangan menutupi kebenaran Islam, apalagi sampe menyimpangkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasulullah demi mendapat respon positif dan atas nama dakwah yang katanya secara damai itu. Padahal sejatinya bukan tak mungkin malah menikam Islam itu sendiri karena penyampaiannya yang keliru.
So, meski mungkin tulisan ini tak akan banyak terbaca karena disapu gelombang informasi ‘sepihak’ tentang fenomena film ini, tapi paling nggak kamu yang baca harus mulai berlatih menjadi cerdas dengan menjadikan Islam sebagai pandangan dan pedoman hidup. Tentu, agar tetap mampu menyampaikan Islam apa adanya. Jangan beralasan atas nama dakwah, tapi tindakannya malah menghilangkan bagian yang semestinya disampaikan sebagai dakwah seperti dalam film Ayat-Ayat Cinta ini. Apalagi kalo harus ngomongin aktivitas pemainnya, gimanapun Fedi Nuril ama Rianti Cartwright bukan mahram dalam kehidupan nyata, kok bisa mesraan gitu di film? Apa karena atas nama dakwah? Halah, dakwah kok jadi hiburan dan tambang uang para kapitalis. Musibah
[Dikutip dari milis, dari buletin GaulIslam ]